Sepenggal Kisah Dari Keikhlasan Para Salaf
Ustadz Abu Abdillah Fadlan Fahamsyah, Lc
Ikhlas…
sebuah kata yang mudah diucapkan dengan lidah namun tidak mudah melekat
di hati, lihatlah keadaan para salaf kita, mereka orang yang paling
terjaga hatinya, menyelami kehidupan mereka seperti kita bertamasya ke
taman bunga, indah di mata, wangi terasa, dan keteduhan akan datang
menyapa kita.
Imam Abu Hanifah
rahimahullah berkata, ”Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab
fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (
Al-Madkhol, 1/164, Mawqi’ al-Islam).
Para salaf dahulu selalu menjaga hati mereka, mereka takut mata-mata
manusia melihat ibadahnya, mereka menyembunyikan amal baktinya melebihi
kondisi mereka dalam menyembunyikan emas-permata, mereka takut
digugurkan pahala amal ibadah mereka.
”Sebagian kaum salaf mengatakan, ”Aku berharap ibadahku hanyalah antara diriku dengan Alloh, tidak ada mata yang melihatnya.””
Marilah kita simak mutiara kisah dari para salaf, yang dengannya akan tergambar luasnya samudra keikhlasan mereka :
Sufyan ats-Tsauri
rahimahullah berkata : ”Tidaklah aku
bersungguh-sungguh mengobati sesuatu hal, melebihi kesungguhanku dalam
menjaga hatiku, karena ia selalu berubah-ubah padaku.” (
Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 18, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir tahun 2002).
Benarlah apa yang beliau katakan, karena hati manusia ibarat kapas
yang berada di tanah yang luas lagi lapang, kemudian datanglah angin
kencang yang menyapa, maka terombang-ambinglah kapas tadi melaju tanpa
tujuan.
Keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Alloh
Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsauri
rahimahullah menangis,
kemudian beliau berkata, ”Aku takut ditulis oleh Alloh sebagai orang
yang celaka,” beliau terus menangis, kemudian berkata, ”Aku takut
keimanan ini dicabut dari diriku ketika aku akan meninggal dunia.” ini
menunjukkan bagaimana takutnya beliau dari terbaliknya hati dari
keimanan menuju kekufuran. (
Khusnus Khotimah wa Suu’uhaa, karya Kholid bin ’Abdurrohman asy-Syayi’, hal. 4, cet. Al-Maktab at-Ta’awuny).
Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Dinar
rahimahullah berdiri
di tengah malam sambil memegang jenggotnya, seraya berkata : ”Ya Ilaahi,
engkau telah mengetahui siapa saja (di antara hambamu) yang masuk surga
dan siapa saja yang jadi penghuni neraka, lalu kemanakah tempat
kembaliku (apakah surga yang ku tuju ataukah neraka yang menantiku).
Beliau selalu mengucapkannya sampai datang waktu Subuh (fajar).” (
Khusnul Khotimah wa Suu’uhaa, hal. 4).
Diriwayatkan pula bahwa Ayyub as-Sikhtiyaani
rahimahullah adalah seorang yang berhati lembut, apabila beliau menjumpai
ibroh
(hikmah), maka beliau tak kuasa menahan air matanya, kemudian beliau
mengusap wajah dan hidungnya sambil berkata, ”Alangkah berat penyakit
flu ini,” beliau melakukan itu karena tidak ingin tangisannya karena
Alloh diketahui orang lain. (
Siyar A’laam an-Nubala’, 6/20, karya al-Imam Adz-Dzahabi).
Jika salah seorang dari generasi tabi’in tidak mampu berpura-pura
sakit untuk merahasiakan air matanya, ia berdiri sebab khawatir air
matanya diketahui banyak orang. Itulah yang disebutkan Imam Hasan
al-Bashri. Ia berkata, ”Seseorang duduk di satu tempat. Jika air matanya
keluar, ia menahannya. Jika ia khawatir air matanya tidak dapat
dibendung, ia berdiri.” (
Az-Zuhd, Imam Ahmad : 262).
Al-A’masi
rahimahullah mengatakan, ”Suatu saat Hudzaifah
menangis di dalam sholatnya. Setelah selesai maka beliau berbalik dan
ternyata ada orang dibelakangnya maka beliau pun berkata, ”Jangan kamu
beritahukan hal ini kepada siapapun.”” (Diriwayatkan oleh al-hasan
adh-Dhorrob dalam
Dzamm ar-Riya’, dinukil dari
Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53, cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Laila melaksanakan sholat, kemudian
tatkala di merasa ada seseorang yang akan masuk (kamarnya) maka beliau
langsung berbaring di tempat tidurnya. Sebagaimana diriwayatkan pula
bahwa sebagian para salaf dahulu melaksanakan sholat dan menangis,
kemudian tatkala ada seorang tamu yang datang maka mereka segera mencuci
wajah-wajah mereka untuk menghilangkan bekas air mata mereka (Lihat
Miftah al-Afkar li at-Ta’ahhubi li Dar al-Qoror, 2/27, karya ’Abdul ’Aziz bin Muhammad as-Salman).
Itulah para
ulama’, tangisan mereka adalah tangisan
keikhlasan, keteduhan dan sumber kebahagiaan, bukan tangisan
kepura-puraan, kemunafikan dan berharap pujian sebagaimana yang
dilakukan kebanyakan manusia zaman sekarang, semoga mata mereka –para
salaf- dijaga oleh Alloh dari api neraka.
Rosululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Ada dua
mata yang tidak tersentuh api neraka : mata yang menangis karena Alloh
dan mata yang terjaga di malam hari karena berjuang di jalan Alloh.”
(Dikeluarkan Imam at-Tirmidzi dalam
Sunan-nya : 1337 dan dishohihkan al-Albani dalam
al-Miskat : 3829).
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : ”Tujuh
golongan yang Alloh naungi pada hari kiamat nanti di hari yang tidak ada
naungan kecuali naungan Alloh, kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
di antaranya : seseorang yang mengingat Alloh dalam kesendiriannya
kemudian mengalirkan air matanya.” (Dikeluarkan Imam Bukhori dalam
Shohih-nya : 1357 dan Imam Muslim : 2427).
Tidakkah kita melihat tangisan Rosululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Diriwayatkan dari ’Ubaid bin ’Amir
radhiyallahu ‘anhu : ”Sesungguhnya dia bertanya pada ’Aisyah
radhiyallahu ‘anha : ”Kabarkan kepada kami perkara yang paling Anda kagumi dari Rosululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” kemudian beliau (’Aisyah) berkata, ”Pada suatu malam Rosululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadaku, ”Wahai ’Aisyah, biarkan aku menyembah kepada Tuhanku
malam hari ini,” maka aku berkata, ”Ya Rosululloh, aku ingin berada di
dekatmu dan menyukai apa yang menggembirakanmu,” tetapi beliau berdiri
dan mengambil air wudhu, kemudian beliau berdiri melaksanakan sholat
yang panjang, beliau terus menangis dalam sholatnya, sampai basah
pangkuannya, dan basah pula tanah tempat beliah bersujud, kemudian
datanglah Bilal untuk menjembut beliau (melaksanakan sholat Subuh),
ketika dia (Bilal) menjumpai Rosululloh menangis maka dia mengatakan,
”Ya Rosululloh, Anda menangis? Bukankah Alloh telah mengampuni dosa
Anda, baik yang lalu atau yang akan datang?” Beliau menjawab,
”Kenapa aku tidak menjadi hamba yang bersyukur? Telah turun kepada-ku
sebuah ayat, sungguh celaka bagi umatku yang membacanya akan tetapi
tidak memahaminya.” Kemudian beliau membaca ayat : ”Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron :
190).” (Dishohihkan al-Albani dalam
Shohih at-Targhib : 1468 dan
ash-Shohihah : 68).
Sungguh alangkah jauhnya kita dari keikhlasan mereka…
Keikhlasan para salaf dalam beramal sholih
Adalah ’Ali bin al-Husain bin ’Ali
rahimahullah, beliau
biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi
roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau
mengatakan :
”Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Robb
‘Azza wa jalla”.
Penduduk Madihan tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka
makan. Tatkala ’Ali bin al-Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak
lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin
al-Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang
dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. (
Hilyatul Auliya’, 3/135-136).
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar : ”Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan
keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan
amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk
orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman, no. 6500).
Ibrohim an-Nakha’i
rahimahullah menceritakan, ”Sesungguhnya
mereka dahulu –ulama salaf- apabila sedang berkumpul maka mereka tidak
suka apabila seorang –di antara mereka- harus mengeluarkan cerita
terbaik yang dia alami atau –mengeluarkan- perkara terindah yang ada
pada diri mereka”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam
az-Zuhd, dinukil dari
Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53 cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).
Keikhlasan para salaf dalam berdakwah
Ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wasi’ seraya berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak
khusyu’,
tidak menangis, dan sulit bergetar dengan nasihat. Mengapa?” Muhammad
berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan
demikian (tidak terpengaruh dengan nasihat yang kamu sampaikan) tidak
lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasihat itu jika
keluarnya ikhlas dari dalam hati maka akan mudah masuk ke dalam hati
(orang yang mendengarnya).” (
Siyar A’lam an-nubala : 6/122).
Keikhlasan kaum salaf dalam menuntut ilmu
Ad-Daruquthni
rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami
menuntut ilmu bukan semata-mata karena Alloh, akan tetapi ternyata ilmu
itu enggan, sehingga dia menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena
Alloh.” (
Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari
Ma’alim, halaman 20).
Hasan al-Bashri
rahimahullah berkata, “Semoga Alloh
merahmati seseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya. Jika
keinginannya karena Alloh dia teruskan, namun apabila untuk selainNya di
tangguhkan.” (HR. Al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman : 5/458).
Kedudukan ikhlas bagi kaum salaf
Ibnu Qoyyim irahimahullah berkata, ”Beramal tanpa keikhlasan dan
ittiba’
(meneladani Nabi), ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan
pepasiran. Hanya memberatkannya dan tidak bermanfaat baginya.” (
al-Fawa’id, Ibnul Qoyyim (691-751 H), hal. 55, tahun 1993, Darul Fikr, Beirut).
Al-Fudhoil bin ‘Iyadh
rahimahullah menafsirkan firman Alloh
Subhanahu wa Ta’ala
: ”Allohlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk : 2).
Beliau
rahimahullah berkata, ”Yang dimaksud paling baik
amalnya, yakni yang paling ikhlas dan paling benar (dan sesuai tuntunan
Alloh). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak
akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan
diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas
apabila dilakukan karena Alloh, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah
Rosululloh.” (
Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, I/36).
Yahya bin Abi Katsir
rahimahullah berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”
Ibnul Mubarak
rahimahullah berkata : ”Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Mutharrif bin ’Abdulloh
rahimahullah berkata, ”Baiknya hati tergantung dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.” (Dinukil dari kitab
Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam karya Ibnu Rojab al-Hambali).
Imam al-Jailani
rahimahullah berkata kepada salah seorang
muridnya, ”Beramallah dengan ikhlas dan jangan lihat seluruh amal
perbuatanmu. Amal perbuatanmu yang diterima adalah amal perbuatan yang
engkau tujukan untuk mengharapkan keridhoan Alloh
Subhanahu wa Ta’ala, bukan keridhoan manusia. Engkau celaka jika beramal untuk manusia, namun engkau berharap perbuatanmu diterima Alloh
Subhanahu wa Ta’ala. Ini perbuatan gila!” (
Al-Fathu ar-Robbani : 36).
As-Susi
rahimahullah berkata : “Barangsiapa menyaksikan ikhlas dalam keikhlasannya maka keikhlasannya membutuhkan ikhlas.”
Yusuf bin Husain ar-Rozi
rahimahullah berkata, “Perkara yang paling mulia di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan
riya’ dari hatiku, akan tetapi seakan-akan
riya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang berbeda. (
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 2, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).
Penutup
Kita akhiri pembahasan kali ini dengan doa seorang salaf, Muthorrif bin ‘Abdillah
rahimahullah berkata dalam doanya :
“Ya
Alloh, aku memohon ampunan kepadaMu dari dosa yang aku sudah bertobat
darinya kemudian aku terjatuh lagi di dalamnya, aku memohon ampunan
kepadaMu dari amalan yang aku jadikan hanya untukMu kemudian aku tidak
menepatinya untukMu, dan aku memohon ampunan kepadaMu dari amal yang aku
anggap hanya untukMu, mengharap ridhoMu, kemudian bercam-purlah hatiku
dengan sesuatu yang Engkau mengetahuinya (maka ampunilah dosaku).”
(Jami’ al-‘Ulum wal al-Hikam, hal. 27, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).
Sumber:
Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 70 :: Vol. 9 No. 04 :: 1432H/2011M