Kamis, 08 November 2012

Kisah Ramadhan - Ikhlas

Kisah Ramadhan - Ikhlas

google
google
Kisah tentang Ikhlas
Dulu seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki tujuan hidup. Tentu saja meraih keberhasilan dunia dengan paling tidak memiliki jabatan dan menjadi kaya karenanya. Tujuan yang sebenarnya cukup beralasan mengingat masa kecil saya yang selalu hidup dalam kesulitan ekonomi. Saya ingin menjadi kaya, agar orang-orang yang saya cintai akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan apapun yang mereka inginkan, tidak seperti saya yang untuk sekedar hidup saja harus berjuang setengah mati.
Pepatah yang mengatakan bahwa hidup itu bagai sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah itu ternyata benar terjadi pada saya. Dalam kehidupan, saya mengalami banyak perubahan. Terkadang memang perubahan itu baik untuk saya tapi terkadang kehidupan itu membawa saya pada perubahan yang buruk.
Suatu kali saya pernah merasakan kenikmatan dunia yang disebut harta. Harta berlimpah, apapun bisa saya beli saat itu. Saya merasakan betapa seluruh dunia ada di genggaman saya. Anehnya, saya sama sekali tidak merasa bahagia seperti dugaan saya. Yang terjadi justru sebaliknya. Keluarga saya yang selama ini memang saya utamakan akhirnya malah berubah jadi pemalas. Mereka hanya ingin meminta dan terus meminta pada saya. Adik-adik saya tak ada satupun yang bekerja atau berusaha, semuanya sepenuhnya menggantungkan hidup pada saya. Sampai lelah saya menasehati bahkan pernah saya memutuskan untuk tidak memberi uang lagi, mereka malah berhutang ke rentenir yang akhirnya terpaksa saya lunasi juga. Saya juga hampir tak punya waktu untuk menikmati kekayaan itu, karena hampir sepanjang hari waktu saya dihabiskan untuk mengejar harta itu. Bahkan ketika malam telah larut, kadang-kadang saya masih di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan.
Saya jauh dari istri dan anak-anak saya. Ketika mereka mengajak untuk sekedar menghabiskan waktu bersama, saya selalu menganggapnya sebagai pemborosan waktu. Saya selalu menunda-nunda semua yang seharusnya bisa saya nikmati.
Sampai kemudian, kejenuhan melanda. Saya mulai lelah dan bosan menghadapi rutinitas pekerjaan kantor yang padat. Belum lagi jenuh itu meledak, timbullah hal lain. Saya jatuh sakit, jantung mengalami gangguan. Selama beberapa bulan, saya terpaksa beristirahat total dan berhenti bekerja. Kami sekeluarga berada pada titik terbawah dalam putaran roda kehidupan.
Keluarga yang selama ini menggantungkan seluruh hidupnya pada saya, marah dan mulai menjauhi. Satu persatu adik-adik saya mendapat masalah tapi kali ini saya hanya bisa melihat saja. Istri saya yang selama ini hanyalah ibu rumah tangga biasa, terpaksa turun tangan dengan berdagang serabutan. Apapun dia lakukan agar empat anak kami bisa tetap bersekolah.
Antara rasa malu karena hidup ditopang oleh istri, marah karena keluarga saya tak mau membantu dan akhirnya bermuaralah kemarahan itu pada Allah SWT yang merampas segalanya dari saya.
Untunglah, kesabaran istri menghadapi semua penderitaan itu membuat saya lebih kuat. Setiap hari, dengan sabar ia mengajak saya sholat dan bersujud. Awalnya karena saya malu pada anak-anak yang begitu rajin sholat dan mengaji. Lalu tanpa saya sadar, setiap hari saya juga duduk ikut mendengarkan anak dan istri yang mengaji setelah sholat. Terkadang istri saya menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak dan saya ikut mendengarkan.
Dalam masa-masa sulit itu, saya akhirnya menyadari satu hal setelah sering mendengar istri menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak. Hidup di dunia bukanlah untuk mengejar kebahagiaan sejati. Kunci kehidupan adalah keikhlasan. Hidup di dunia berarti hidup dengan ujian, ujian kesenangan dunia atau ujian kesusahan dunia. Apapun yang kita jalani kunci tetap sama yaitu ikhlas. Harus tetap tawaddu saat senang dan sabar ketika susah. Kalau kita bisa memberikan keikhlasan untuk semua ujian yang kita dapat, insya Allah kita akan tahu artinya bahagia.
Sampai di situ, saya berhenti marah. Saya berusaha memaknai keikhlasan itu dengan kembali berpikir untuk melakukan sesuatu yang paling sederhana untuk keluarga. Mereka mungkin tak memerlukan saya bekerja dan mencari uang untuk mereka lagi, tapi mereka membutuhkan kehadiran saya sebagai kekuatan batin. Dengan mencoba ikhlas, saya membantu pekerjaan istri di rumah ketika ia sibuk berjualan. Ketika adik-adik saya tak mau berkunjung, saya datang ke rumah mereka untuk melihat keadaan mereka dan mulai berbicara. Awalnya memang berat, tapi saya terus berusaha sabar. Ternyata pelan-pelan apa yang saya lakukan, terlihat hasilnya. Istri jadi lebih tenang saat bekerja dan perlahan ia mulai memperlihatkan keberhasilan dalam usahanya. Adik-adik juga akhirnya mau mendengarkan nasehat saya, dan mulai mencari pekerjaan. Entah karena kasihan, atau karena akhirnya ikut tersentuh karena kata-kata saya yang tak jarang membuat mereka berurai airmata penyesalan.
Kini, kehidupan saya hampir kembali normal. Usaha istri saya sekarang sudah cukup berhasil dan sebagian digunakan untuk membuka usaha saya yang baru. Usaha yang memungkinkan saya untuk tidak terlalu bekerja keras karena jantung saya masih sangat bermasalah hingga kini. Sementara adik-adik saya sudah berpencar untuk bekerja dan sebagian telah menikah.
Saya mendapat jawaban dari kesimpulan apa yang saya dapat dari mencoba agar ikhlas ketika mendapatkan ujian. Ketenangan. Sesuatu yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketenangan lahir dan batin.
Kebahagiaan yang ingin saya rasakan ternyata asalnya bukan dari harta atau barang yang saya miliki, tapi justru berasal dari orang-orang di sekitar saya. Saya bahagia karena senyum istri saya ketika melihat saya melakukan sesuatu untuknya, saya bahagia ketika melihat anak-anak tertawa karena saya hadir untuk mereka dan saya bahagia ketika melihat orang-orang di sekeliling saya berterima kasih karena saya memberi mereka petunjuk dan bantuan berdasarkan pengalaman saya di masa lalu, berbagi keberhasilan yang dulu pernah saya raih. Itulah bahagia yang sesungguhnya selama ini saya cari.

kunjungi selengkapnya di   kisah.ramadhan

Sepenggal Kisah Dari Keikhlasan Para Salaf

Sepenggal Kisah Dari Keikhlasan Para Salaf
Ustadz Abu Abdillah Fadlan Fahamsyah, Lc

Ikhlas… sebuah kata yang mudah diucapkan dengan lidah namun tidak mudah melekat di hati, lihatlah keadaan para salaf kita, mereka orang yang paling terjaga hatinya, menyelami kehidupan mereka seperti kita bertamasya ke taman bunga, indah di mata, wangi terasa, dan keteduhan akan datang menyapa kita.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, ”Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (Al-Madkhol, 1/164, Mawqi’ al-Islam).
Para salaf dahulu selalu menjaga hati mereka, mereka takut mata-mata manusia melihat ibadahnya, mereka menyembunyikan amal baktinya melebihi kondisi mereka dalam menyembunyikan emas-permata, mereka takut digugurkan pahala amal ibadah mereka.
”Sebagian kaum salaf mengatakan, ”Aku berharap ibadahku hanyalah antara diriku dengan Alloh, tidak ada mata yang melihatnya.””
Marilah kita simak mutiara kisah dari para salaf, yang dengannya akan tergambar luasnya samudra keikhlasan mereka :
Sufyan ats-Tsaurirahimahullah berkata : ”Tidaklah aku bersungguh-sungguh mengobati sesuatu hal, melebihi kesungguhanku dalam menjaga hatiku, karena ia selalu berubah-ubah padaku.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 18, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir tahun 2002).
Benarlah apa yang beliau katakan, karena hati manusia ibarat kapas yang berada di tanah yang luas lagi lapang, kemudian datanglah angin kencang yang menyapa, maka terombang-ambinglah kapas tadi melaju tanpa tujuan.
Keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Alloh
Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsaurirahimahullah menangis, kemudian beliau berkata, ”Aku takut ditulis oleh Alloh sebagai orang yang celaka,” beliau terus menangis, kemudian berkata, ”Aku takut keimanan ini dicabut dari diriku ketika aku akan meninggal dunia.” ini menunjukkan bagaimana takutnya beliau dari terbaliknya hati dari keimanan menuju kekufuran. (Khusnus Khotimah wa Suu’uhaa, karya Kholid bin ’Abdurrohman asy-Syayi’, hal. 4, cet. Al-Maktab at-Ta’awuny).
Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Dinarrahimahullah berdiri di tengah malam sambil memegang jenggotnya, seraya berkata : ”Ya Ilaahi, engkau telah mengetahui siapa saja (di antara hambamu) yang masuk surga dan siapa saja yang jadi penghuni neraka, lalu kemanakah tempat kembaliku (apakah surga yang ku tuju ataukah neraka yang menantiku). Beliau selalu mengucapkannya sampai datang waktu Subuh (fajar).” (Khusnul Khotimah wa Suu’uhaa, hal. 4).
Diriwayatkan pula bahwa Ayyub as-Sikhtiyaanirahimahullah adalah seorang yang berhati lembut, apabila beliau menjumpai ibroh (hikmah), maka beliau tak kuasa menahan air matanya, kemudian beliau mengusap wajah dan hidungnya sambil berkata, ”Alangkah berat penyakit flu ini,” beliau melakukan itu karena tidak ingin tangisannya karena Alloh diketahui orang lain. (Siyar A’laam an-Nubala’, 6/20, karya al-Imam Adz-Dzahabi).
Jika salah seorang dari generasi tabi’in tidak mampu berpura-pura sakit untuk merahasiakan air matanya, ia berdiri sebab khawatir air matanya diketahui banyak orang. Itulah yang disebutkan Imam Hasan al-Bashri. Ia berkata, ”Seseorang duduk di satu tempat. Jika air matanya keluar, ia menahannya. Jika ia khawatir air matanya tidak dapat dibendung, ia berdiri.” (Az-Zuhd, Imam Ahmad : 262).
Al-A’masirahimahullah mengatakan, ”Suatu saat Hudzaifah menangis di dalam sholatnya. Setelah selesai maka beliau berbalik dan ternyata ada orang dibelakangnya maka beliau pun berkata, ”Jangan kamu beritahukan hal ini kepada siapapun.”” (Diriwayatkan oleh al-hasan adh-Dhorrob dalam Dzamm ar-Riya’, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53, cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Laila melaksanakan sholat, kemudian tatkala di merasa ada seseorang yang akan masuk (kamarnya) maka beliau langsung berbaring di tempat tidurnya. Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa sebagian para salaf dahulu melaksanakan sholat dan menangis, kemudian tatkala ada seorang tamu yang datang maka mereka segera mencuci wajah-wajah mereka untuk menghilangkan bekas air mata mereka (Lihat Miftah al-Afkar li at-Ta’ahhubi li Dar al-Qoror, 2/27, karya ’Abdul ’Aziz bin Muhammad as-Salman).
Itulah para ulama’, tangisan mereka adalah tangisan keikhlasan, keteduhan dan sumber kebahagiaan, bukan tangisan kepura-puraan, kemunafikan dan berharap pujian sebagaimana yang dilakukan kebanyakan manusia zaman sekarang, semoga mata mereka –para salaf- dijaga oleh Alloh dari api neraka.
Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Ada dua mata yang tidak tersentuh api neraka : mata yang menangis karena Alloh dan mata yang terjaga di malam hari karena berjuang di jalan Alloh.” (Dikeluarkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya : 1337 dan dishohihkan al-Albani dalam al-Miskat : 3829).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : ”Tujuh golongan yang Alloh naungi pada hari kiamat nanti di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Alloh, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antaranya : seseorang yang mengingat Alloh dalam kesendiriannya kemudian mengalirkan air matanya.” (Dikeluarkan Imam Bukhori dalam Shohih-nya : 1357 dan Imam Muslim : 2427).
Tidakkah kita melihat tangisan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Diriwayatkan dari ’Ubaid bin ’Amir  radhiyallahu ‘anhu : ”Sesungguhnya dia bertanya pada ’Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Kabarkan kepada kami perkara yang paling Anda kagumi dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” kemudian beliau (’Aisyah) berkata, ”Pada suatu malam Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ”Wahai ’Aisyah, biarkan aku menyembah kepada Tuhanku malam hari ini,” maka aku berkata, ”Ya Rosululloh, aku ingin berada di dekatmu dan menyukai apa yang menggembirakanmu,” tetapi beliau berdiri dan mengambil air wudhu, kemudian beliau berdiri melaksanakan sholat yang panjang, beliau terus menangis dalam sholatnya, sampai basah pangkuannya, dan basah pula tanah tempat beliah bersujud, kemudian datanglah Bilal untuk menjembut beliau (melaksanakan sholat Subuh), ketika dia (Bilal) menjumpai Rosululloh menangis maka dia mengatakan, ”Ya Rosululloh, Anda menangis? Bukankah Alloh telah mengampuni dosa Anda, baik yang lalu atau yang akan datang?” Beliau      menjawab, ”Kenapa aku tidak menjadi hamba yang bersyukur? Telah turun kepada-ku sebuah ayat, sungguh celaka bagi umatku yang membacanya akan tetapi tidak memahaminya.” Kemudian beliau membaca ayat : ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron : 190).” (Dishohihkan al-Albani dalam Shohih at-Targhib : 1468 dan ash-Shohihah : 68).
Sungguh alangkah jauhnya kita dari keikhlasan mereka…
Keikhlasan para salaf dalam beramal sholih
Adalah ’Ali bin al-Husain bin ’Ali rahimahullah, beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan :
”Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Robb ‘Azza wa jalla”. Penduduk Madihan tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ’Ali bin al-Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin al-Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. (Hilyatul Auliya’, 3/135-136).
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar : ”Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6500).
Ibrohim an-Nakha’i rahimahullah menceritakan, ”Sesungguhnya mereka dahulu –ulama salaf- apabila sedang berkumpul maka mereka tidak suka apabila seorang –di antara mereka- harus mengeluarkan cerita terbaik yang dia alami atau –mengeluarkan- perkara terindah yang ada pada diri mereka”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53 cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).
Keikhlasan para salaf dalam berdakwah
Ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wasi’ seraya berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu’, tidak menangis, dan sulit bergetar dengan nasihat. Mengapa?” Muhammad berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasihat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasihat itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati maka akan mudah masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya).” (Siyar A’lam an-nubala : 6/122).
Keikhlasan kaum salaf dalam menuntut ilmu
Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Alloh, akan tetapi ternyata ilmu itu enggan, sehingga dia menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Alloh.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim, halaman 20).
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Semoga Alloh merahmati seseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Alloh dia teruskan, namun apabila untuk selainNya di tangguhkan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman : 5/458).
Kedudukan ikhlas bagi kaum salaf
Ibnu Qoyyim irahimahullah berkata, ”Beramal tanpa keikhlasan dan ittiba’ (meneladani Nabi), ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan pepasiran. Hanya memberatkannya dan tidak bermanfaat baginya.” (al-Fawa’id, Ibnul Qoyyim (691-751 H), hal. 55, tahun 1993, Darul Fikr, Beirut).
Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala : ”Allohlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk : 2).
Beliau rahimahullah berkata, ”Yang dimaksud paling baik amalnya, yakni yang paling ikhlas dan paling benar (dan sesuai tuntunan Alloh). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Alloh, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rosululloh.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, I/36).
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah  berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata : ”Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Mutharrif bin ’Abdulloh rahimahullah berkata, ”Baiknya hati tergantung dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.” (Dinukil dari kitab Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam karya Ibnu Rojab al-Hambali).
Imam al-Jailani rahimahullah berkata kepada salah seorang muridnya, ”Beramallah dengan ikhlas dan jangan lihat seluruh amal perbuatanmu. Amal perbuatanmu yang diterima adalah amal perbuatan yang engkau tujukan untuk mengharapkan keridhoan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan keridhoan manusia. Engkau celaka jika beramal untuk manusia, namun engkau berharap perbuatanmu diterima Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ini perbuatan gila!” (Al-Fathu ar-Robbani : 36).
As-Susi rahimahullah berkata : “Barangsiapa menyaksikan ikhlas dalam keikhlasannya maka keikhlasannya membutuhkan ikhlas.”
Yusuf bin Husain ar-Rozi rahimahullah berkata, “Perkara yang paling mulia di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan riya’ dari hatiku, akan tetapi seakan-akan riya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang berbeda. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 2, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).
Penutup
Kita akhiri pembahasan kali ini dengan doa seorang salaf, Muthorrif bin ‘Abdillah rahimahullah berkata dalam doanya : “Ya Alloh, aku memohon ampunan kepadaMu dari dosa yang aku sudah bertobat darinya kemudian aku terjatuh lagi di dalamnya, aku memohon ampunan kepadaMu dari amalan yang aku jadikan hanya untukMu kemudian aku tidak menepatinya untukMu, dan aku memohon ampunan kepadaMu dari amal yang aku anggap hanya untukMu, mengharap ridhoMu, kemudian bercam-purlah hatiku dengan sesuatu yang Engkau mengetahuinya (maka ampunilah dosaku).” (Jami’ al-‘Ulum wal al-Hikam, hal. 27, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).
Sumber: Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 70 :: Vol. 9 No. 04 :: 1432H/2011M

Kisah Orang Ikhlas

 http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/pemulung2.jpegDitengah kehidupan yang serba kompleks ini ternyata masih ada orang-orang yang mempunyai keikhlasan yang luar biasa. Hal itu ditunjukkan dalam bentuk memberikan kepeduliannya kepada orang lain disaat orang lain sangat membutuhkan sebuah pertolongan. Sebut saja Ibu Nyami yang dalam kesehariannya hanya bisa mengais rezeki dari pagi hingga sore hari sebagai seorang pemulung jalanan yang ditemani oleh anaknya yang masih kecil dan sebuah gerobak tua. Siapa sangka dan siapa duga ia telah memberikan yang contoh terbaik dalam hidupnya ketika ia dipertemukan sengan seorang Ibu Tua sebayanya yang meminta tolong padanya agar membeli bunga kamboja seharga 30.000 rupiah dari Ibu Tua itu demi untuk membayar keperluan uang sekolah anaknya.
Lain pula halnya dengan Pak Roni yang kesehariannya hanya sebagai seorang pedagang buku gambar, buku cerita anak-anak, yang mengalami cacat fisik itu yakni kakinya yang puntung sebelah dengan semangatnya yang besar berkeliling kota Semarang hanya untuk berjuang hidup. Juga telah memberikan nilai-nilai keteladanan yakni keikhlasan yang begitu besar dalam hidupnya. Ketika Ia bertemu dengan seorang anak perempuan yang ingin menjual botol loakan padanya seharga 20.000 rupiah untuk membeli pakaian sekolah. Pak Roni menanyakan anak itu untuk apa ia menjual botol itu. Anak itu menjawab bahwa untuk membeli pakaian sekolah. Pak Roni pun merogoh kantongnya dan mengeluarkan semua uang yang di dapatnya itu. Lalu memberikan kepada anak itu.
Melihat dua kisah diatas yang di alami oleh Ibu Nyami dan Pak Roni bagi saya adalah sebuah kisah yang sangat mengharukan sekaligus menggelitik kita semua. Bahwa ternyata dalam kehidupan ini, khususnya di kota-kota besar masih ada sosok seperti Ibu Nyami dan Pak Roni yang punya kepedulian yang begitu besar kepada orang lain. Padahal pekerjaan yang ia jalani setiap harinya itu boleh di bilang masih jauh dari cukup atau pas-pasan. Apakah karena Ibu Nyami dan Pak Roni selalu ikhlas dalam menjalani hidup ini dan mensyukuri dengan apa yang mereka dapatkan dari hasil pekerjaaannya. Itu masalah lain. Namun, aktiualisasi nilai-nilai keikhlasan telah ia wujudkan dalam laku kehidupannya sehari-hari.
Jika ditelisik lebih jauh lagi, Ibu Nyami dan Pak Roni telah memahami persis apa arti sebuah keikhlasan dalam kehidupan ini. Baginya, hidup yang sementara ini ia manifestaskan dengan berbuat baik kepada orang lain. Hanya itu saja yang ada dalam benak mereka. Tidak ada yang lain. Selebihnya bagi mereka, tetap terus berjuang mengadu nasib untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semua urusan itu ia serahkan kepada Tuhan. Manusia hanya bisa bergerak dan berikhtiar, Tuhan yang memberikan jawabannya dalam bentuk apa saja. Buktinya, mereka masih bisa bersyukur dengan apa yang di jalankannya itu sebagai anugrah Tuhan. Ia masih bisa mendapatkan rezeki setiap hari untuk bisa bertahan hidup.
Kisah-kisah keteladanan ini adalah merupakan sebuah gambaran pada kita semua bahwa itulah salah satu makna hidup manusia dalam dirinya. Yang menununtun dan membawanya ke dalam sebuah tuntunan kemuliaan. Ditengah semakin sulitnya kepekaan-kepekaan manusia kepada sesama. Memberikan sebuah contoh kisah keteladanan yang statusnya hanyalah sebagai seorang yang selama ini kita pandang sebelah mata, namun kenyataannya ia telah memberikan sebuah nilai-nilai keikhlasan dalam hidup ini. Suatu bukti bahwa status manusia seperti pangkat, jabatan, golongan, pendidikan, bukanlah segalanya dalam hidup ini. Yang segalanya adalah bagaimana mem-fungsikan “rasa” kepekaan kita dalam kehidupan ini. Karena dalam “rasa” itu sebenarnya disitulah sifat-sifat Tuhan selalu bersemayam.
Kisah cerita nyata ini saya angkat dari sebuah  acara “minta tolong” di RCTI.

Jumat, 28 September 2012

Orang Kepercayaan untuk Menjaga Rahasia Rasulullah

Orang Kepercayaan untuk Menjaga Rahasia Rasulullah

Masalah yang paling besar dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin di Madinah al-Munawwarah adalah munculnya orang-orang munafik dan antek-anteknya dengan berbagai tipu daya, isu-isu bohong, dan konspirasi yang mereka lancarkan terhadap Nabi dan para sahabatnya.
Pada perang Tabuk, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bersama sahabatnya ke Madinah, sekelompok kaum munafik bermaksud untuk membunuh Nabi dengan melemparkan Nabi dari atas bukit.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan rencana jahat orang-orang munafik itu kepada Nabi-Nya. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Hudzifah dari sekian sahabatnya untuk menjadi orang kepercayaan memegang rahasia karena kepercayaan Nabi kepadanya dan posisinya yang tinggi di mata Nabi. Nabi memberitahukan kepadanya nama-nama semura orang munafik dan berbagai konspirasi yang mereka rencanakan.
Hudzaifah bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, kenapa tidak engkau perintahkan saja untuk membunuh mereka?”
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah bin Yaman untuk selalu mengikuti gerakan orang-orang munafik itu dan memonitor segala kegiatan mereka untuk mengantisipasi bahaya mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
Di samping sifat-sifat mulia yang dimilikinya, Hudzaifah juga memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia pernah berkata, “Aku pernah melihat sesuatu yang sebelumnya pernah aku lupakan, tapi aku segera mengenalnya sebagaimana halnya seseorang mengenal sahabatnya apabila sahabatnya itu sempat menghilang lalu ketika ia lihat ia segera mengenalnya.”
Sejak hari itu Hudzaifah dijuluki sebagai orang kepercayaan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Umar ibnul Khaththab mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan secara rahasia nama orang-orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yamaan –suatu rahasia yang tidak diberitahukan kepada sahabat yang lain selain Hudzaifah– ia segera menemui Hudzaifah. Sambil berharap, ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, mohon engkau jawab, apakah aku termasuk orang munafik?”
Karena kasihan melihat Umar ibnul Khaththab, Hudzaifah menjawab, “Tidak, tapi aku tidak bisa menjamin seorang pun selainmu.” Hal itu ia katakan agar ia tidak menyebarkan rahasia yang telah diamanahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.
Ketika Umar ibnul Khaththab menjadi khalifah –setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq, wafat– ia bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah ada di antara pejabat-pejabatku di berbagai daerah yang termasuk orang munafik?”
Hudzaifah menjawab, “Ya, ada satu.”
“Siapa dia?” tanya Umar.
“Tidak akan aku sebutkan.”
Tapi tidak berapa lama setelah itu Umar ibnul Khaththab mengetahui siapa orang yang dimaksud sehingga ia segera memecatnya dari jabatannya.
Apabila ada salah seorang kaum muslimin yang wafat, Umar ibnul Khaththab segera bertanya tentang Hudzaifah. Apabila ia tahu Hudzaifah ikut menyalatkannya, maka ia juga akan menyalatkannya. Tapi apabila Hudzaifah tidak ikut menyalatkannya maka Umar juga tidak akan ikut menyalatkannya.
Sumber: Pendekar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ksatria Islam yang Gagah Berani, Asyraf Muhammad al-Wahsy, Gema Insani Press, 2011

post : Tombo Hati.com

Nasihat Nabi

Nasihat Nabi yang Agung

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu selalu berjalan di atas sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala hal. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya biasa datang kepada Nabi untuk bertanya tentang kebaikan. Akan tetapi, Hudzaifah radhiallahu ‘anhu datang kepada Nabi untuk bertanya tentang kejahatan karena khawatir jatuh ke dalamnya.

Hudzaifah telah diberikan kecerdasan dan kebijaksanaan yang membuatnya mengetahui bahwa kebaikan-kebaikan di dunia ini sudah sangat jelas bagi orang yang ingin mengerjakannya. Namun keburukan, masih kabur dan sering tersembunyi. Oleh karena itu, seseorang yang cerdas mestilah benar-benar mempelajari apa itu keburukan beserta tokoh-tkohnya dan apa itu kemunafikan beserta tokoh-tokohnya.

Suatu hari Hudzaifah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita dulu berada dalam kejahiliahan dan kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini (maksudnya Islam), apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.”
“Lalu apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?” tanya Hudzaifah kembali.
Ya, dan di dalamnya ada kerusakan yang tersembunyi.
“Apa kerusakan yang tersembunyi itu wahai Rasulullah?”
Orang-orang yang menunjuki tanpa petunjuk yang benar, ada hal yang engkau terima dari mereka dan ada pula yang engkau ingkari.”
“Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”
Ya orang-orang yang berdakwah di pintu-pintu Jahannam, siapa yang menyambut seruan mereka akan mereka lemparkan ke dalamnya.”
“Ya Rasulullah, terangkanlah mereka kepada kami.”
Mereka juga dari bangsa kita dan berbicara memakai bahasa kita.”
“Apa yang engkau wasiatkan kepadaku andaikan aku mendapat masa itu?”
Berpegang teguh dengan jamaah muslimin dan pemimpin mereka.”
“Andaikan mereka tidak punya jamaah dan pemimpin?”
Jauhi semua kelompok itu walaupun untuk itu engkau akan berpegangan pada akar pohon sampai kematian menjemput dan engkau tetap dalam keadaan demikian.”
Oleh karena itu, Hudzaifah menjalani kehidupan dengan sangat menyadari dan peka terhadap berbagai fitnah dan celah-celah keburukan sehingga ia bisa menghindarinya dan juga memperingatkan manusia agar tidak terjebak ke dalamnya. Ia pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang seluruh fitnah yang akan terjadi saat ini sampai hari Kiamat nanti.”


posting : Tombo Hati

Ibnu Al-Jazari

 

Ibnu Al-Jazari


Menumbangkan Jagoan Romawi
Pahlawan Islam terkemuka yang lain adalah seorang laki-laki yang hidup pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Orang itu dijuluki sebagai ahli tipu daya perang, keberanian, dan kehebatan. Dia bernama Ibnu Al-Jazari.

Al-Qurtubi dalam kitab tarikhnya berkata, “Suatu hari, Harun Al-Rasyid keluar bersama pasukannya untuk menyerbu Konstantinopel dengan kekuatan 130 ribu orang mujahid pasukan berkuda, jumlah yang besar itu tidak termasuk sukarelawan, para remaja, dan pelayan (yang bertugas menyediakan logistik untuk para mujahidin pen.). Penguasa Konstantinopel waktu itu bernama Ya’fur bin Istabraq.
Setibanya di Konstantinopel, kaum muslimin melakukan pengepungan terhadap Konstansinopel, hingga penduduk kota itu merasakan kesempitan dan kesukaran hidup yang amat hebat. Dan hampir saja kaum muslimin berhasil merebut Konstantinopel dari tangan kaum kafir. Maka Ya’fur keluar berjalan menemui Al-Rasyid untuk meminta perjanjian damai dan rela membayar jizyah bahkan dari tangannya sendiri, anak keturunannya serta seluruh penduduk negeri. Ditambah lagi, Ya’fur akan membayar seluruh biaya yang dikeluarkan kaum muslimin sejak keluar dari Baghdad hingga mendekati Konstantinopel dan ditambah pula dengan hadiah-hadiah yang akan menyenangkan hati kaum muslimin. Juga yang sangat penting, Ya’fur berjanji akan membebaskan seluruh kaum muslimin yang tertawan dan dipenjarakan di seluruh negerinya. Harun Al-Rasyid pun memilih untuk menyelamatkan darah kaum muslimin yang tertangkap, sehingga beliau memutuskan untuk menerima tawaran Ya’fur. Selanjutnya Ya’fur akan mengeluakan jizyah sebesar lima 500.000 dinar (uang emas) kepada Al-Rasyid. Untuk menyeselaikan urusan tersebut, Al-Rasyid memerintahakan salah seorang komAndan pasukan mujahidin untuk mengambil harta jizyah, membebaskan kaum muslimin yang tertawan dan mengambil hadiah dari Ya’fur. Medengar adanya perjanjian tersebut, kaum muslimin merasakan kegembiaraan yang sangat besar waktu itu.
Kemudian Al-Rasyid kembali menuju negeri Islam. Ketika sampai di daerah Riqqah, Harun Al-Rasyid menderita sakit sehingga diputuskan untuk berhenti. Kabar tentang sakitnya Al-Rasyid sampai ke telinga Ya’fur, maka dia berbuat khianat dengan tidak menepati janji terhadap kaum muslimin. Tidak ada satu pun pelaksanaan dari isi perjanjian yang telah dia tetapkan sendiri. Kaum muslimin mengetahui peristiwa tersebut, akan tetapi mereka tidak berani menyampaikan pengkhianatan Ya’fur atas Harun Al-Rasyid dikarenakan sakit yang beliau derita. Hingga ketika beliau sembuh dari sakit, barulah beberapa penyair dari kaum muslimin menyampaikan beberapa bait syair, yang isinya memberitahukan kepada Al-Rasyid bahwa Ya’fur telah melakukan pengkhianatan terhadap kaum muslimin. Lalu Al-Rasyid bertanya tentang peristiwa sebenarnya, maka kaum muslimin menyampaikan berita tentang pengkhianatan Ya’fur. Segera Harun Al-Rasyid memerintahkan para mujahidin untuk kembali menyerbu Konstantinopel. Mereka kembali berjalan sehingga sampai di daerah Harqalah. Kemudian Al-Rasyid berkata, “Tidak akan meminta jizyah dari mereka, sampai aku mampu menaklukan negeri ini.”
Abu Ishaq Al-Fazari berkata kepada beliau, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Harqalah ini adalah salah satu benteng terbesar dan terkuat dari benteng-benteng yang dimiliki musuh, dan kita tidak akan mampu menaklukannya kecuali setelah usaha yang sangat keras. Jikalau Anda berusaha untuk menaklukannya, maka pasukan kaum muslimin tidak mencukupi. Akan tetapi jika Anda tidak berusaha menaklukan Harqalah, maka hal itu merupakan kehinaan atas agama kita, mengurangi kekuasaan, Anda dan menjadi aib bagi seluruh kaum muslimin.” Sehingga atas hasil musyawarah dengan seluruh komAndan pasukan, diambillah keputusan agar Amirul Mukminin memasuki sebuah ktoa besar terdekat yang dikuasai kaum muslimin terlebih dahulu. Kemudian beliau meminta bantuan penduduk muslim untuk menambah jumlah kekuatan sehingga mencukupi untuk menaklukan Konstantinopel, kemudian menaklukan benteng Harqalah dan benteng-benteng lain.
Ibnu Mukhallad berkata, “Benteng Harqalah ini merupakan benteng yang sangat besar dan mereka memiliki banyak benteng yang serupa dengan benteng ini. Apabila kita mampu menaklukannya, maka orang kafir itu pasti akan terhina. Dan tidak akan ada seorang pun yang tersisa kecuali tunduk di bawah kekuasaan Amirul Mukminin.” Kemudian Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan peralatan berupa manjanik yang berjumlah banyak serta mempersiapkan diri menghadapi pertempuran. Ketika pasukan telah siap, maka beliau mengirim Abdullah bin Abdul Malik bersama pasukannya menuju negeri Romawi yang kemudian berhasil menawan serta membunuh banyak musuh dan membawa harta ghanimah yang tidak sedikit. Beliau juga mengutus Daud bin Ali untuk menyerbu negeri Romawi dengan membawa 70.000 pasukan berkuda. Mereka berhasil menawan, membunuh banyak sekali musuh dan membawa ghanimah yang tidak sedikit pula. Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid juga mengirim Syurahbil bin Mu’an bersama pasukanya, yang kemudian berhasil menaklukan benteng Ash-Shaqalah. Beliau juga mengutus Zaid bin Mukhallad bersama sepasukan mujadhidin untuk menguasai benteng Shafshaf. Beliau mengutus Jamil bin Ma’ruf beserta para mujahidin untuk membakar benteng-benteng musuh, membunuh banyak sekali pasukan kafir dan membawa 17.000 tawanan perang ke hadapan Amirul Mukminin.
Selanjutnya Al-Rasyid tinggal bersama dengan para mujahidin di dalam benteng Harqalah selama tujuh belas hari. Beliau merasa sempit dengan tinggalnya beliau dalam benteng tersebut dan semakin menipisnya perbekalan. Beliau mengadukan keadaan ini kepada para penasihat beliau. Al-Fazari berkata, “Saya telah memberikan nasihat kepada Amirul Mukminin sebelumnya, akan tetapi Anda tetap teguh pendirian. Saya sampaikan kembali bahwa saat ini kita tidak mempunyai jalan lain, walaupun kita nantinya harus terbunuh. Saya akan memberikan beberapa nasihat yang jika Amirul Mukminin bersedia menerimanya, saya harap semoga Allah memberikan kemenangan dan pertolongan.” Al-Rasyid berkata, “Kalau begitu katakanlah! Kami tidak akan menyelisihi pendapatmu, dari awal sampai akhir.”
Kaum muslimin pun diperintahkan untuk memotong pepohonan, memindahkan bebatuan, dan kepada seluruh pasukan disampaikan bahwa Amirul Mukminin berkeinginan untuk bertempat tinggal di dalam benteng Harqalah. Oleh karena itu, hendaklah setiap pasukan Islam membangun tempat tinggal di dalam benteng.

Ibnu Al-Jazari Menumbangkan Jagoan Romawi

Setelah semua rencana dijalankan, dimulailah pertempuran melawan tentara Romawi dengan usaha merebut benteng Anwah. Dan jalannya peperangan semakin berkecamuk. Mendekati siang Al-Rasyid tertidur, peperangan juga mereda. Saat itulah pintu benteng terbuka dan dari dalamnya seorang laki-laki Romawi keluar dengan membawa persenjataan lengkap serta mengendarai seekor kuda yang sangat gagah. Laki-laki itu berteriak dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih, “Wahai orang-orang Arab, keluarkanlah dua puluh jagoan kalian yang ahli mengendarai kuda untuk menghadapi aku.” Akan tetapi tidak ada seorangpun pasukan Islam yang maju menghadapinya, karena melihat Al-Rasyid sedang tidur (sehingga kaum muslimin tidak berani memberikan keputusan melangkahi pendapat Amirul Mukminin pen.). Tidak ada seorang pun yang memberanikan diri untuk membangunkan beliau. Orang Romawi itu terus berkeliling di antara dua kelompok besar pasukan, sambil terus meneriakkan tantangan kepada kaum muslimin. Keadaan seperti itu menyebabkan timbulnya kegaduhan dan rasa takut di kalangan pasukan Islam, akibatnya goncanglah barisan kaum muslimin. Peristiwa itu menyebabkan orang-orang Romawi tertawa dan merasa sangat gembira, lalu terlihat laki-laki yang tadi menantang masuk ke dalam benteng dengan perasaan bangga. Ketika Al-Rasyid akhirnya terbangun, beliau diberitahukan tentang peristiwa yang baru saja dialami kaum muslimin. Mendengar kabar tentang peristiwa yang baru saja dialami kaum muslimin, beliau merasa sangat terganggu, menyesal, hatinya risau, dan kemudian beliau bangun, berdiri, lalu duduk kembali. Selanjutnya Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid bertanya, “Kenapa kalian tidak membangunkan aku? Dan kenapa salah seorang dari kalian tidak maju untuk menghadapinya?” Beberapa pasukan Islam berkata, “Kelengahan mereka (dengan kejadian tadi pen.) akan mendorong orang Romawi itu keluar dari benteng mereka esok hari.” Dan malam harinya Al-Rasyid tidak mampu memejamkan mata.
Pagi harinya, laki-laki Romawi itu keluar lagi seraya meneriakkan tantangan sebagaimana yang dia lakukan kemarin. Harun Al-Rasyid berkata, “Keluarkanlah dua puluh orang pasukan berkuda menghadapi orang itu.” Mendengar ucapan Amirul Mukminin, Ibnu Mukhallad berkata, “Demi Allah, Wahai Amirul Mukminin, cukup satu orang saja yang menghadapinya. Jika dia mampu mengalahkan orang Romawi itu, maka alhamdulillah. Akan tetapi apabila dia terbunuh, maka dia terbunuh sebagai syahid. Dengan begitu orang Romawi yang lain tidak akan mendengar bahwa seorang pasukan Romawi harus dihadapi oleh dua puluh orang pasukan Islam.” Al-Rasyid berkata, “Benarlah apa yang engkau katakan.” Pada saat itu di dalam barisan kaum muslimin terdapat seorang pejuang yang bernama Ibnu Al-Jazari yang terkenal dengan keberanian dan kekuatannya. Dia berkata, “Aku yang akan keluar untuk menghadapi orang itu dan aku memohon kepada Allah semoga Dia menurunkan pertolongan-Nya kepadaku.”
Kemudian Al-Rasyid memerintahkan seseorang untuk mempersiapkan kendaraan perang dan persenjataan untuk Ibnu Al-Jazari, akan tetapi Ibnu Al-Jazari berkata, “Aku tidak membutuhkannya.” Maka Al-Rasyid hanya mendoakan kemenangan dan memberikan nasihat agar Ibnu Al-Jazari selalu waspada. Kemudian bergeraklah dua puluh orang pasukan Islam bersama Ibnu Al-Jazari untuk mengawalnya.
Ketika pasukan Islam sampai di tengah lembah (antara dua pasukan pen.), orang Romawi itu berkata, “Wahai orang Islam, kalian berbuat curang. Aku meminta kalian untuk mengeluarkan dua puluh jagoan kalian, akan tatapi yang datang menghadapiku berjumlah dua puluh satu orang.” Salah seorang pasukan Islam menjawab teriakan Romawi, “Yang akan menghadapimu hanya satu orang. Kami hanyalah mengantar orang ini dan kami akan segera kembai.” Si kafir Romawi berkata, “Aku telah memohon kepada Allah, semoga aku berhadapan dengan Ibnu Al-Jazari.” Ibnu Al-Jazari berkata, “Benar, aku Ibnu Al-Jazari.” Si kafir Romawi menjawab, “Wahai teman, aku merasa cukup puas berhadapan denganmu.”
Kembalilah dua puluh orang pasukan Islam menuju barisannya dan mulailah kedua jagoan bertarung. Pertarungan berlangsung dengan seru dan melelahkan. Sedangkan kaum muslimin dan orang-orang musyrikin memperhatikan jalannya bertarungan dengan hati berdebar. Tiba-tiba terlihat Ibnu Al-Jazari bergerak menghantam musuh. Keadaan itu menyebabkan hati orang-orang musyrikin mulai khawatir dan terkoyak, sedangkan kaum muslimin terlihat gaduh karena peristiwa itu. Ibnu Al-Jazari semakin menguasai keadaan, dia mampu mengurung musuh dengna serangannya dan akhirnya tumbanglah si kafir Romawi dari pelana kudanya. Dan tidaklah tubuh Romawi itu menyentuh tanah, kecuali saat itu kepalanya telah terpisah dari badan. Maka bertakbirlah kaum muslimin dengan suara yang seakan-akan mampu meruntuhkan gunung. Akibatnya, tercerai berailah barisan musyrikin. Kemudian kaum muslimin memulai peperangan dengan semangat tinggi. Dan akhirnya benteng Anwah berhasil dikuasai dengan membawa korban dan tawanan yang sangat banyak dari pihak Romawi.
Ketika Ibnu Al-Jazari datang menghadap Al-Rasyid, maka Al-Rasyid mendudukkan di hadapannya. Selanjutnya Ibnu Al-Jazari diberi harta rampasan yang sangat banyak sehingga hampir saja dia tidak mampu membawanya, akan tetapi Ibnul Jazari menolak semua pemberian tersebut.
Selanjutnya Al-Rasyid bersama para mujahidin bergerak menuju Konstantinopel mendengar gerakan pasukan Islam, para uskup dan penjaga bergegas menghadap Amirul Mukminin untuk memohon ampunan serta belas kasihan atas kelancangan penguasa Romawi Ya’fur. Mereka berjanji bahwa hari itu juga mereka akan menepati semua perjanjian mereka dengan kaum muslimin keluar dari Baghdad hingga Konstantinopel dan memberikan hadiah kepada kaum muslimin. Para uskup dan pendeta terus memohon dengan merendahkan diri di hadapan kaum muslimin. Bahkan mereka sujud dan meletakkan dahi mereka pada permukaan tanah. Hingga akhirnya permohonan belas kasihan mereka diterima oleh kaum muslimin. Selanjutnya Al-Rasyid tetap bertahan di tempat pemberhentiannya selama beberapa saat sehingga semua tuntutan kaum muslimin terpenuhi. Orang-orang Nasrani kemudian menyerahkan tiga 300.000 dinar (uang emas) setiap tahun ditambah 50.000 dinar jizyah setiap tahun kepada kaum muslimin. Ditambah syarat lain yaitu orang-orang Nasrani tidak diperbolehkan mendiami perbentengan baik di Harqalah ataupun benteng lain.
Ketika Amirul Mukminin Al-Rasyid dan seluruh pasukan Islam telah bersiap untuk kembali ke Baghdad, penguasa Romawi Ya’fur menulis sebuah surat untuk Al-Rasyid yang berbunyi,
“Kepada Amirul Mukminin, seorang hamba Allah dan khalifah-Nya, dari Ya’fur penguasa Romawi.
Keselamatan semoga terlimpahkan kepada Anda, wahai penguasa agung, Amma ba’du,
Saya mempunyai hajat yang sederhana, remeh, dan tidak membahayakan agama Anda. Saya telah meminang seorang gadis yang merupakan anak perempuan dari penduduk Harqalah untuk dinikahkan dengan anak laki-laki saya. Apabila Anda menemukan gadis itu, maka saya memohon sudi kiranya Anda mengampuni dan mengirimkannya kepada kami agar hajat keluarga saya terlaksana. Semoga Anda mendapatkan limpahan karunia kebaikan dan keutamaan. Kemudian apabila Anda sudi menambah dengan memberikan kepada saya salah satu tenda perkemahan Anda (untuk perayaan pernikahan pen.), maka Anda lebih berhak untuk memutuskan. Selanjutnya saya memohon agar kedatangan gadis tersebut nantinya diiringi oleh para pendeta.”
Setelah membaca surat tersebut Al-Rasyid memerintahkan pasukan Islam untuk mencari keberadaan gadis yang dimaksud oleh Ya’fur. Setelah akhirnya ditemukan, maka Al-Rasyid memberikan kepadanya perbekalan yang baik dan mencukupi. Selanjutnya dipersiapkan iring-iringan yang panjang untuk mengantarnya. Al-Rasyid juga memberikan kepadanya permadani yang dihiasi dengan tilam emas dan perak. Ditambah berbagai wewangian yang menyemarakkan bau udara. Mendapat perlakuan seperti itu, maka Ya’fur merasa sangat gembira. Dia membalasnya dengan mengirimkan beberapa keledai yang berisi kekayaan yang berlimpah sebagai bukti ketundukannya kepada Amirul Mukminin. Seekor keledai membawa kekayaan mencapai sebanyak lima puluh ribu dirham (uang perak). Seekor keledai lain membawa banyak sekali kain sutera yang berhiaskan tilam perak yang merupakan kain paling mahal saat itu. Sekelompok keledai lain yang membawa banyak pakaian-pakaian pemburu, dua belas ekor elang pemburu dan beberapa ekor anjing pemburu yang mampu menangkap singa. Serta tiga ekor kuda khusus penarik beban. Keseluruhan harta fai’ tersebut segera dibagikan oleh Al-Rasyid kepada pasukan Islam. Sehingga ketika pulang menuju Baghdad, hanya dengan sekali peristiwa perang itu, kaum muslimin mampu menambah perbendaharaan. Baitul Mal sebanyak 3.100.000 dinar. Akhirnya kaum muslimin kembali dengan membawa kemenangan, kegembiraan, keberuntungan dan harta ghanimah yang sangat berlimpah.
Sumber: Kisah-Kisah Pahlawan Generasi Pilihan, Hilmi bin Muhammad bin Ismail, Wafa Press

 post by : Tombo Hati.com





 

Keutamaan Utsman bin Affan

 Beliau adalah Abu Abdillah Utsman bin Affan bin al-Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keempat yaitu Abdu Manaf, di masa jahiliah beliau dipanggil Abu Amr namun tatkala dari istri beliau yaitu Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir seorang laki-laki yang diberi nama Abdullah lalu beliau berganti menjadi Abu Abdillah, dan beliau masyhur dengan julukan dzu nurain (pemilik dua cahaya).

Di masa jahiliyah Utsman bin Affan adalah seorang yang terpandang dan dimuliakan oleh kaumnya. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat pemalu, hartawan, dan pemilik petuah yang didengar. Karena itulah ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh kaumnya. Ia tidak pernah sujud kepada sebuah patung pun, tidak pula berbuat keji, tidak pernah meminum khamar baik sebelum maupun setelah Islam. Utsman bercerita, “Aku tidak pernah bernyanyi, tidak pula panjang angan-angan, aku pun tidak pernah menyentuh dzakarku dengan tangan kananku setelah aku gunakan tangan itu untuk membai’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak pernah minum khamar di masa jahiliah maupun setelah Islam.”

Keutamaan Utsman bin Affan

Beliau termasuk as-sabiqun al-awwalun (orang-orang yang pertama menyambut dakwah Islam). Beliau mengikrarkan diri sebagai seorang muslim berkat dakwah Abu Bakr Ash-Shidddiq pada umur 34 tahun. Di saat kaumnya menolak dan mengingkari seruan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia justru membentangkan tangan, membuka hati, dan meyakini tanpa keraguan. Tatkala seruan hijrah dikumandangkan beliau adalah termasuk seorang yang tampil melaksanakan perintah sehingga beliau dua kali berhijrah, ke negeri Habasyah dan Madinah.
Keunggulan sahabat Utsman semakin tampak pada beberapa keadaan penting di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itulah figur Utsman dikenal sebagai salah satu sahabat yang tidak disebut melainkan kebaikan. Di saat musim paceklik panjang, kemiskinan dan kefakiran menjadi bagian bagi setiap kaum muslimin. Di saat itu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan seruan jihad dan beliau tengah menyiapkan pasukan besar untuk diberangkatkan dalam Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Pasukan itu disebut jaisyul ‘usroh karena sulitnya kondisi materi para sahabat pada saat itu. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendorong para sahabatnya untuk berinfak dan bersedekah dalam rangka menyiapkan pasukan besar tersebut. Hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
Barang siapa yang menyiapkan jaisyul usyroh, maka baginya surga.”
Tiba-tiba datanglah seorang saudagar kaya yang dermawan dialah Utsman bin Affan membawa kepingan-kepingan dinar berjumlah 1000 dinar lalu diberikan di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sambil memeganginya keluarlah ucapan yang masyhur dari bibir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,
Tidaklah memudharatkan Utsman apa yang ia lakukan setelah ini.”
Dan juga pada saat jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan Masjid Nabawi serasa tidak dapat lagi menampung jamaah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barang siapa membeli lokasi milik keluarga fulan lalu menambahkan untuk perluasan masjid dengan kebaikan maka ia kelak di surga.” Lalu Utsman membelinya dari kantong uang miliknya lalu tanah itu diwakafkan untuk masjid.
Demikian juga tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah maka tidak dijumpai air tawar kecuali dari sumur rumah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barang siapa membeli sumur dan menjadikan gayung miliknya bersama dengan gayung milik kaum muslimin maka kelak ia di surga.” Mendengar ucapan tersebut Utsman pun segera membelinya.
Kemudian satu hal yang tidak boleh dilupakan – yang menambah kemuliaan sahabat Utsman, beliau adalah seorang mu’alim yang cinta kepada Alquran. Kecintaannya terhadap Alquran telah membuahkan hasil yang senantiasa dikenang hingga hari kiamat, peristiwa pengumpulan Alquran dan penyeragaman bacaan adalah bukti nyata bagi seorang yang mau merenunginya. Beliaulah sahabat yang telah meriwayatkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya.”
Dan suatu hari Utsman memanggil orang-orang, lalu berwudhu di hadapan mereka, kemudian beliau mengatakan, “Barang siapa yang berwudhu semisal wudhuku ini lalu shalat dua rakaat dan tidak berbincang-bincang di dalamnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Beliau juga sering memperingatkan manusia dari bahaya dusta atas nama agama, dari beliaulah diriwayatkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka silakan mengambil tempat duduk di neraka.
Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau yang lain, namun tidak ada yang lebih menggembirakan dari itu semua dibandingkan persaksian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Utsman adalah min ahlil jannah (salah satu penghuni surga).
Dari Abu Musa al-Asy’ari beliau berkata, “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke sebuah kebun dan beliau memerintahku untuk menjaga pintu kebun tersebut, maka datanglah seorang laki-laki meminta izin untuk masuk maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Izinkanlah ia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.’ Ternyata ia adalah Abu Bakr. Lalu datang seorang laki-laki yang lain dan meinta izin untuk masuk, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Izinkanlah ia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.’ Ternyata dia adalah Umar. Kemudian datang lagi seorang yang lain meminta izin untuk masuk, namun sejenak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam, lalu beliau mengatakan, ‘Izinkanlah ia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga atas bala yang akan menimpanya.’ Ternyata dia adalah Utsman bin Affan.”
Ishaq bin Rahawaih mengatakan, “Tidak ada seorang pun sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling baik di muka bumi ini kecuali Abu Bakr, dan tidak ada orang yang lebih baik sepeninggalnya kecuali Umar, dan tidak ada orang yang lebih baik sepeninggalnya kecuali Utsman, serta tidak ada orang yang lebih baik dan lebih mulia sepeninggalnya kecuali Ali.”
Gelombang Fitnah
Merupakan mukjizat kenabian, apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti terjadi. Abu Hurairah telah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya kalian akan menjumpai setelahku fitnah dan perselisihan atau perselisihan dan fitnah. Maka berkata salah seorang, “Lalu kepada siapa kami akan memihak?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpegangteguhlah kalian kepada al-Amiin ini dan sahabat-sahabatnya.” Lalu beliau mengisyaratkan kepada Utsman.”
Maka atas apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Utsman pun mengetahui bahwa kelak ia akan dibunuh secara zalim, dan orang-orang yang keluar darinya akan menghalalkan darahnya adalah orang-orang munafik. Apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi, setelah beliau diangkat menjadi Khalifah kaum muslimin yang sah, beliau banyak menuai protes, banyak menerima kritikan dan tuduhan dari para pemberontak. Api itu makin menghalalkan darah Utsman. Di antara tuduhan-tuduhan keji mereka:
Pertama: mereka menuduh Utsman tidak berlaku adil dalam pengangkatan para pejabatnya karena ia mengutamakan keluarganya dan mencopot jabatan sebagian sahabat kibar (senior), serta menggantinya dengan orang-orang yang lebih muda umurnya.
Jawaban atas tuduhan tersebut:
Adapun penggantian jabatan dari sahabat senior kepada para pemuda, maka sungguh bagi beliau terdapat panutan yang baik sebelumnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyiapkan pasukan besar untuk memerangi Romawi lalu beliau menunjuk panglimanya adalah Usamah bin Zaid yang tatkala itu masih berusia belia, sedang di belakangnya banyak para sahabat senior seperti Abu Bakr dan Umar…?? dan sebelum pasukan besar tersebut diberangkatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu meninggal dunia. Apa reaksi manusia tatkala itu, mereka datang kepada Umar untuk membujuk Abu bakar, agar ia mencopot jabatan Usamah bin Zaid sebagai panglima, maka sahabat Abu Bakr marah besar dan mengatakan kepada Umar, “Wahai Umar, ia adalah orang yang telah diangkat langsung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau memintaku untuk mencopotnya?!!”
Al-Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Utsman adalah seorang yang berakhlak mulia, sangat pemalu, dan dermawan. Beliau sering mendahulukan keluarga dan kerabat-kerabatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka untuk ta’liful qulub (melunakkan hati), untuk suatu tujuan yang kekal melalui perkara-perkara dunia yang fana sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberi suatu kaum dan tidak memberikan kepada kaum yang lain untuk suatu tujuan agar mereka mendapat hidayah dan iman, dan sungguh untuk tujuan ini suatu kaum memahaminya, tidak sebagaimana kaum Khawarij telah melakukan protes atas apa yang diperbuat oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kedua: beliau dituduh telah membuat perkara baru yang tidak ada contoh sebelumnya seperti pengumpulan ayat-ayat Alquran dalam sebuah mushaf, beliau tidak meng-qashar shalat tatkala di Mina, dan beliau menambahkan adzan menjadi dua kali pada hari Jumat.
Jawaban atas tuduhan tersebut:
Adapun beliau membakar seluruh mushaf dan menjadikan satu mushaf saja yang disepakati maka justru para ulama memandang hal itu adalah perbuatan mulia yang menjadikan kemuliaan bagi sahabat Utsman, karena berarti beliau telah memupus benih-benih perpecahan di tubuh kaum muslimin perihal bacaan kitab suci mereka. Lihatlah apa tindakan Abu Hurairah setelah Utsman melakukan apa yang beliau lakukan terhadap Alquran lalu sahabat Abu Hurairah menemuinya seraya mengatakan, “Sungguh engkau telah benar dan mencocoki kebenaran.”
Adapun tatkala di Mina beliau shalat sempurna dan tidak meng-qashar, maka beliau menjawab sendiri tuduhan tersebut, “Ketahuilah, yang demikian adalah karena aku mendatangi suatu negeri yang di dalamnya terdapat keluargaku, sehingga aku menyempurnakannya karena dua asalan bermukin dan menjenguk keluarga.”
Dan Al-Hafizh telah menukil dari Al-Iman az-Zuhri beliau mengatakan, “Utsman shalat sempurna di Mina empat rakaat karena orang badui (Arab pegunungan) di tahun itu sangatlah banyak, maka Utsman hendak mengajari mereka bahwa shalat (zhuhur dan Ashar) adalah empat rakaat.”
Adapun tentang beliau menambahkan adzan sebelum Jumat karena beliau memandang terdapat maslahat yang menuntut akan hal tersebur, karena kota Madinah semakin luas dan orang-orang semakin banyak sehingga adzan tersebut adalah tanda bahwa shalat Jumat akan segera ditegakkan.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Saib bin Yazid bahwa Utsman menambahkan adzan kedua pada masanya karena tatkala itu manusia yang tinggal di Madinah sudah sangatlah banyak.
Dan seandainya perbuatan itu munkar maka pasti akan diingkari oleh para sahabat senior yang tatkala itu masih hidup. Kalau demikian keadaannya, maka hal itu merupakan salah satu sunah khulafaur rasyidin dan sunah mereka adalah termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintah untuk berpegang teguh dengannya.
Ketiga: Beliau dicela karena beberapa tindakan di antaranya karena beliau telah absen dalam Perang Badar, dan ketika Perang Uhud beliau termasuk orang-orang yang ikut lari ke belakang dan beliau tidak ikut dalam Bai’at Ridhwan.
Sahabat Abdullah bin Umar telah menjawab tuduhan-tuduhan tersebut sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari:
Seorang laki-laki datang dari Mesir untuk berhaji, lalu ia melihat suatu kaum tengah duduk-duduk. Ia bertanya, “Siapa mereka?” Lalu dijawab, “Mereka adalah orang-orang Quraisy.” Ia berkata, “Siapa syaikh mereka?” Mereka menjawab, “Abdullah bin Umar.” Lalu ia bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, aku akan menanyakan beberapa hal kepadamu. Apakah engkau tahu bahwa Utsman telah lari dalam Perang Uhud?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia melanjutkan, “Apakah engkau tahu bahwa ia juga telah absen dari Perang Badar?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia bertanya lagi, “Apakah engkau tahu bahwa ia juga telah absen dalam Bai’at Ridhwan?” Beliau menjawab, “Benar.” Lalu laki-laki itu mengatakan, “Allahu Akbar!!”
Ibnu Umar mengatakan, “Kemarilah, aku akan jelaskan kepadamu. Adapun Utsman telah lari dalam Perang Uhud maka aku bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memaafkannya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَاكَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Q.S. Ali-Imran: 155)
Adapun beliau absen dalam Perang Badar karena tatkala istri beliau yaitu putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit keras, sehingga ia diizinkan untuk tidak hadir dalam peperangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya bagimu seperti pahalanya orang yang ikut menyaksikan Perang Badar.” Dan mengenai absennya beliau dalam Bai’at Ridhwan karena seandainya ada orang yang lebih mulia dari Utsman di Mekah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengutusnya ke Mekah, maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya, beliau mengatakan ini adalah bai’atnya Utsman.” Setelah itu Ibnu Umar mengatakan kepada laki-laki tersebut, “Sekarang pergilah engkau.”

post oleh:Tombo Hati